Ketika
seorang wanita muslim berada di masyarakat, dia ingin agar masyarakat melihat
sisi kemanusiannya; bukan seksualitasnya. Seksualitas hanya untuk pasangan yang
ada di rumah. Baik pria maupun wanita harus membatasi daya tarik seksualnya
kepada pasangannya. Di dalam masyarakat, kita semua adalah manusia; baik pria
maupun wanita. Kita tidak boleh berperilaku dengan
menekankan sisi gender.
Karenanya, diri kita sebagai manusia harus lebih diutamakan.
Di
masyarakat yang seksualitas wanitanya lebih terlihat jelas bagi pria, tidak
hanya membuat wanita menjadi kurang aman dan kekerasan lebih banyak terjadi
padanya, tapi juga membuatnya direndahkan. Karena seolah masyarakat mengatakan
kepadanya: “Aku tidak peduli dengan hakikat dirimu. Aku hanya peduli dengan
penampilanmu. Kamu sendiri tidak ada artinya bagiku.”
Tapi
seorang wanita muslim berkata:
“Saya ingin dilihat sebagai manusia, bukan hanya karena ciri kewanitaan.” Jika
nilai seorang wanita hanya penampilannya saja; misalkan karena memiliki wajah
yang cantik, maka hal ini memiliki masa yang terbatas. Lagi pula, berapa lama
seorang wanita dapat mempertahankan kecantikan dan kesegaran masa mudanya? Ia
hanyalah sementara.
Jika
seorang wanita dihormati karena kecantikan fisik atau daya tarik seksualnya,
maka rasa hormat ini akan bertahan selama dia tetap cantik. Ketika
kecantikannya memudar, apa yang terjadi pada “kehormatan” (yang seharusnya
tetap diterimanya)? Kehormatannya juga memudar. Lalu kemudian, dia harus
berjuang untuk membuktikan kepada semua pria bahwa dia masih tetap cantik.
“Perhatikan aku. Aku masih cantik.”
Sedangkan
dalam kultur islami, kecantikan yang paling penting bagi
wanita dan juga pria, adalah kecantikan jiwa; kecantikan sifat. Kecantikan
fisik mungkin juga menjadi penting bagi kita, tapi tidak (sampai mencapai
tingkat) bahwa nilai seseorang hanya ada pada kecantikan fisik semata. Tidak
sampai pada tingkat ketika usia seorang wanita bertambah, ketika dia menjadi
tua, ketika wajahnya mulai berkerut, ketika penampilannya berubah,… maka
nilainya menjadi berkurang. Tidak! Dia tetap berharga.
Wanita
yang tidak tertutup bukanlah untuk kepentingan wanita itu sendiri; tapi ia
menjadi kepentingan bagi pria. Terbukanya wanita di jalan-jalan dan di
masyarakat menjadi kepentingan bagi pria yang menginginkan “akses bebas”;
mereka yang ingin melihat dan memperoleh kenikmatan. Pria yang tidak memiliki
moral, yang hanya mencari kepuasan.
Wanita
muslim percaya bahwa mereka harus mengenakan hijab ketika pergi ke tempat umum, karena (prinsip mereka ialah):
“Kami bukan barang untuk dikonsumsi. Kami punya kehormatan dan harga diri.” Ini
merupakan poin yang sangat penting (untuk diingat).
Mungkin,
salah satu kekuatan yang mendorong dibalik melemahnya sebuah keluarga adalah
isu keterbukaan dan lemahnya hijab. Artinya, seorang pria—di tempat umum—yang
berhubungan dengan banyak wanita cantik dengan
beragam daya tarik, bisa menjadi kurang tertarik—bahkan secara seksual—terhadap
istrinya di rumah. Ketertarikan dan kesetiaan pada pasangannya menjadi
terkikis. Pada gilirannya, istri akan merasa bahwa suaminya sedang berkhianat.
Semua perhatian suaminya diarahkan kepada wanita lain, sehingga ia merasa tidak
diperhatikan lagi. Dia akan merasa tidak dicintai lagi.
Sebagai
akibatnya, istri akan pergi dan mencari cara terlarang untuk memecahkan
masalahnya. Urutan ini berakar dari pengkhianatan suami terhadap istri dan
sebaliknya. Inilah alasan terjadinya kemerosotan dalam sebuah keluarga. Inilah
penyebab berkuranganya rasa hormat terhadap wanita, karena rasa hormat yang
ditujukan kepada wanita hanya ditujukan pada kecantikan fisik. Masalah ini
menyerang wanita lebih besar daripada hal lainnya. Ia merendahkan derajat
wanita dan melemahkan sebuah keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar